Senin, 07 Februari 2011

Memahami Kebijakan Pendidikan


Kegagalan terbesar impelementasi kebijakan pendidikan adalah menempatkannya sebagai tujuan. Sebagai sebuah cara, kebijakan diuraikan dalam bentuk program dan kegiatan. Jika tujuan pendidikan memfasilitasi peserta didik menjadi individu yang survive, maka patut dipertanyakan, apakah kegiatan keseharian pendidikan saat ini mampu menghasilkan orang-orang yang survive? Dalam tujuan pendidikan diramu perimbangan antara knowledge, skill dan values yang akan menciptakan manusia terampil dan berbudi pekerti, tetapi justru aktivitas pendidikan didominasi oleh kegiatan kognitif, karena tujuan disamakan dengan kebijakan.
Dalam era otonomi daerah sekarang, pemerintah daerah sebagai pemegang mandat publik harus menempatkan pendidikan sebagai kebijakan publik. Aktivitasnya akan tampak dari keberpihakan pemerintah untuk mempersiapkan anak didik menuju hidup yang survive sebagai politisi, pengusaha, karyawan, akademisi, peneliti, petani terdidik, nelayan terdidik dan lain sebagainya. Artinya kebijakan pendidikan harus diupayakan sejalan dengan kebijakan lainnya. Kebijakan pendidikan untuk mengubah proporsi sekolah kejuruan dengan umum menjadi 70:30 perlu diikuti kebijakan penyediaan lapangan kerja yang bersesuaian. Ini adalah sebuah cara, bukan tujuan. Oleh karena itu yang terpenting bukan mengejar target pencapaian proporsi tersebut, tetapi kebermaknaan kebijakan itu untuk memperbanyak orang-orang yang survive.
Demikian juga kebijakan tentang persyaratan minimal S1 bagi guru. S1 bukan tujuan tetapi alat yang digunakan untuk menampilkan kinerja profesional. Ketika kebijakan ini diperlakukan sebagai tujuan maka pencapaian target menjadi kehilangan makna, sebab peningkatan jumlah S1 tidak menunjukkan kinerja yang optimal. Kebijakan profesionalisme guru yang mempersyaratkan pendidikan S1 belum berhasil memacu guru menambah ilmu, sebab perolehan ijazah menjadi tujuan. Orang yang hirau mutu tidak bertambah, meski pemilik ijazah S1, S2 dan S3 bertambah.
Ciri utama dunia masa depan adalah persaingan, sementara pendidikan kita semakin langka menanamkan daya juang dan ketangguhan. Hal ini diperkuat oleh fenomena tidak tangguhnya siswa menghadapi berbagai ujian termasuk ujian nasional. Idealnya permasalahan di sekolah harus disetting lebih rumit dari kondisi sebenarnya, sehingga siswa terbiasa menghadapi masalah yang lebih sulit dari keadaan yang sebenarnya.
Paradoks
Idealnya, tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia-manusia yang dapat menjadi problem solver sejati, yaitu manusia-manusia yang dapat mengatasi permasalahan kehidupan sehingga dapat menjadi survive. Namun fenomena yang terjadi sekolah cenderung menempatkan pembelajaran bidang studi menjadi tujuan. Hal ini tampak dari pola evaluasi yang dilaksanakan di sekolah. Siswa seolah-olah digiring menuju perolehan nilai yang tinggi sebagai tujuan, pada hal perolehan nilai tersebut baru sepertiga dari kompetensi yang dibutuhkan menjadi orang yang sukses. Secara massive siswa dan guru larut dalam perjuangan mengejar nilai yang sesungguhnya belum menggambarkan nilai hidup yang survive. Atas kenyataan ini, perlu ada kebijakan untuk mengubah masalah yang dihadapi siswa di sekolah “harus” diupayakan lebih sulit dari kondisi kehidupan nyata agar para siswa terbiasa menghadapi tantangan yang diharapkan berujung pada kemampuan untuk survive.
Saat ini, ditemukan sebuah paradoks, situasi sekolah justru lebih sederhana dari pada situasi riel kehidupan yang akan dihadapi oleh siswa. Gambaran situasi dunia kerja dan persaingan kualitas pada dunia kerja bagi lulusan sekolah kejuruan justru berbeda dengan situasi kerja riil yang ditemukan di lapangan. Persoalannya, bagaimana mungkin melakukan setting yang lebih kompleks di sekolah sementara sekolah masih berada dalam standar yang serba kekurangan, baik dari sarana maupun guru?
Inilah pentingnya memperkenalkan pembelajaran berbasis masalah. Namun kesulitan yang sangat prinsip bagi bagi guru dalam hal ini justeru menemukan masalahnya. Menemukan sebuah masalah jauh lebih sulit dibanding memecahkan masalah. Sepanjang siswa dapat memecahkan masalahnya tanpa harus berinteraksi dengan orang lain atau sumber belajar lain maka sesungguhnya belum menerapkan pembelajaran masalah.
Tampaknya diperlukan kebijakan untuk kebijakan. Banyak kebijakan yang diperlakukan sebagai tujuan. Oleh karenanya, sebuah kebijakan perlu diikuti dengan kebijakan lain guna mejamin ketercapaian tujuan. Berbagai kebijakan yang sangat populer saat ini tentang pendidikan telah menimbulkan berbagai ekses yang kurang positif. Kebijakan tentang akreditasi perguruan tinggi sejatinya untuk mendorong perguruan tinggi dapat memenuhi standar minimal perguruan tinggi berkualitas. Sayangnya status akreditasi diperlakukan sebagai tujuan oleh beberapa perguruan tinggi. Akibatnya, hasil akreditasi dimaksud tidak seutuhnya dapat menggambarkan kondisi objektif sebuah perguruan tinggi. Belum lagi persoalan ini ditambah “disparitas” akibat faktor-faktor subjektivitas lainnya.
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini. “Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.”
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai. Hal menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun 1947. Pokok-pokok undang-undang tersebut adalah :
a. Prinsip Legalisme
b. Prinsip Administrasi yang Demokratis
c. Prinsip Netralitas
d. Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan. dan
e. Prinsip Desentralisasi. (Research and Statistic Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).
Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah pendidikan diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen dan warga negara diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur oleh undang-undang dan peraturan di parlemen.
Prinsip kedua mengindikasikan bahwa sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan dan prosesnya.
Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik.
Prinsip keempat mengidikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan pendidikan.
Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal.
Nah, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.

Tidak ada komentar: